Internasional

Sang Pahlawan Perang yang Berujung Jadi Pelarian Memalukan

Friska Harahap | Kamis, 14 Juli 2022 - 14:58:12 WIB | dibaca: 390 pembaca

Merdeka.com - Mereka pernah dianggap sebagai pahlawan bangsa karena mengalahkan kelompok separatis dalam perang sipil berdarah. Namun, hari-hari terakhir dinasti keluarga Rajapaksa di Sri Lanka menghadirkan cerita berbeda.

Pada Rabu (13/7) dini hari, Presiden Gotabaya Rajapaksa melarikan diri dari negaranya, empat hari setelah demonstran menerobos istananya dan menuntut penggulingannya dari kekuasaan.

Dia diperkirakan mundur pada Rabu, tapi Gotabaya tidak mengumumkannya secara resmi. Alih-alih, sebelum subuh dia justru menaiki pesawat militer dari Kolombo dan terbang ke Maladewa, meninggalkan negaranya yang dilanda krisis terburuk dalam 70 tahun.

Pelariannya merupakan momentum bersejarah bagi negara kepulauan berpenduduk 22 juta jiwa itu, yang dikuasai keluarga Rajapaksa dengan tangan besi selama dua dekade terakhir sebelum rakyat kehilangan kepercayaannya.

"Melihat Gotabaya Rajapaksa melarikan diri dari Sri Lanka menggunakan pesawat angkatan udara menunjukkan (lengsernya) keluarga ini," jelas Ganeshan Wignaraja, peneliti dari lembaga pemikir Inggris, ODI Global.

"Peninggalan mereka menurut saya bukanlah suatu hal positif. Tapi satu harapan bahwa Sri Lanka akan bergerak ke arah baru," lanjutnya, dikutip dari CNN, Rabu (13/7).

Warga Sri Lanka yang bergembira masih menduduki istana presiden dan berenang di sana, bernyanyi di ruang makan presiden, dan menari di atas lantai mewah istana. Ini menunjukkan adanya optimisme, paling tidak untuk saat ini. Apa yang terjadi dalam 24 jam ke depan akan sangat menentukan masa depan Sri Lanka.

Gotabaya Rajapaksa bukan orang pertama dari keluarga Rajapaksa yang menjadi presiden. Kakaknya, Mahinda Rajapaksa, yang dianggap sebagai pahlawan, terpilih menjadi presiden pada 2005. Mahinda dielu-elukan sebagai pahlawan pada 2009 ketika dia mengumumkan kemenangan melawan pemberontak Macan Tamil dalam perang sipil selama 26 tahun. Dia juga dikenal dengan sebutan "appachchi" atau bapak bangsa, dan orang-orang akan membungkuk ketika berpapasan dengan Mahinda dan masyarakat khawatir ketika dia jatuh sakit.

Saat menjabat sebagai presiden, Mahinda mengelola Sri Lanka seperti perusahaan keluarga. Dia menunjuk saudara-saudaranya untuk jabatan-jabatan penting: Gotabaya sebagai Menteri Pertahanan, Basil Rajapaksa sebagai Menteri Pembangunan Ekonomi, dan Chamal Rajapaksa sebagai Ketua DPR.

Masa-masa indah bergulir, kendati banyak nepotisme, dan Rajapaksa bersaudara tetap populer. Sri Lanka mengalami pertumbuhan, didorong oleh utang luar negeri untuk mendanai layanan publik. Namun masa-masa indah itu tidak bertahan lama. 

Menurut laporan PBB tahun 2011, pasukan pemerintah Sri Lanka disebut bertanggung jawab atas pembunuhan warga sipil, pemerkosaan, termasuk menghalangi pengiriman bantuan makanan dan obat-obatan terhadap komunitas yang terdampak perang sipil dan diperkirkan 40.000 warga sipil tewas. Namun laporan ini dibantah pemerintah Rajapaksa.

Lalu merebak kemarahan terhadap kroniisme atau nepotisme Mahinda ketika muncul tanda-tanda masalah ekonomi. Pada 2015, Sri Lanka berutang USD 8 miliar pada China, dan pejabat pemerintah Sri Lanka memperkirakan akumulasi utang luar negeri -- baik utang ke China maupun negara lain -- akan menghabiskan 94 persen PDB negara tersebut. Tahun itu, Mahinda Rajapaksa kalah dalam pemilihan presiden.

"Kombinasi ini (nepotisme) dan salah kelola perekonomian, rakyat kecewa mereka telah memilih orang-orang ini," kata Wignaraja. 

 

Gotabaya Rajapaksa terpilih sebagai presiden baru pada November 2019, tujuh bulan setelah serangan bom di gereja dan hotel yang menewaskan 290 orang. Sama seperti kakaknya, Gotabaya memerintah seperti mengelola bisnis keluarga. Gotabaya lalu memilih Mahinda sebagai perdana menteri.

Namun, sebagaimana yang terjadi pada saudaranya, pemerintahan Gotabaya mulai goyah karena pertanyaan terkait pengelolaan ekonomi pemerintahnya terus berkembang.
Para ahli mengatakan masalah ekonomi Sri Lanka tidak sepenuhnya kesalahan pemerintah - tetapi diperburuk oleh serangkaian keputusan yang buruk.

Menghadapi defisit besar, Gotabaya melakukan pemangkasan pajak untuk menstimulasi perekonomian. Namun kebijakan itu berdampak pada pendapatan pemerintah. Sri Lanka lalu menggunakan cadangan devisanya untuk membayar utang pemerintah, yang kemudian berdampak pada impor bahan bakar, makanan dan obat-obatan.










Komentar Via Website : 0


Nama

Email

Komentar



Masukkan 6 kode diatas)